Tuesday, June 10, 2014

Hasta Luego, Granada!

Apabila melakukan perjalanan yang cukup jauh dan berpindah-pindah biasanya saya selalu mempersiapkan itinerary sebelum saya berangkat. Bukan itinerary yang detail sih, tapi setidaknya saya tahu bahwa saya akan tinggal berapa hari di kota A sebelum saya melanjutkan perjalanan ke kota B, dan kalau bisa pun saya akan memesan tiket transportasi antar kota (atau negara). Hal ini saya lakukan untuk efisiensi waktu dan biaya, maklum lah budget perjalananan saya terbatas jadi harus pinter-pinter mengakali. Akan tetapi kadang-kadang hidup tidak berjalan sesuai yang kita rencanakan. Saya akan menceritakan sebuah pengalaman ketika rencana perjalananan yang telah saya atur harus mendadak berubah.

Ceritanya saya sedang berada di sebuah kota yang indah di selatan Spanyol bernama Granada. Saya jatuh cinta pada kota ini, karena selain kotanya yang cantik, saya juga bertemu dengan banyak orang yang baik dan pengalaman yang menarik di kota ini. Sehingga ketika tiba waktunya saya meninggalkan Granada saya menjadi sedikit sedih.

View of La Alhambra from El Mirador de San Nicholas 

Sore itu setelah saya berkeliling Albayzin dan menyusuri El Rio Darro (Sungai Darro) yang cantik, saya pun duduk-duduk menikmati segelas Tinto de Verano ditemani Tortilla di sebuah tapas bar. Saya melihat jam dan ternyata waktu saya tinggal empat jam lagi sebelum saya harus berangkat menuju Barcelona. Saya pun bergegas  kembali ke hostel untuk mengambil koper. Sebelum berangkat ke stasiun, saya sempat mengobrol dengan seorang tamu asal Cina tetapi bekerja di Belanda sambil menikmati makan malam kami masing-masing. Akhirnya  waktu menunjukkan pukul 8 malam, saya mengucapkan salam perpisahan kepada Mercedes, pemilik hostel, yang super baik dan membantu memberikan banyak tips perjalanan.


El Rio Darro yang cantik

Sepanjang perjalanan dari hostel menuju stasiun kereta, saya mellow menatap jalanan dan bangunan-bangunan sambil mengingat kejadian-kejadian menarik sepanjang waktu saya di Granada.  Saya seperti belum mau berpisah, saya masih ingin tinggal di sini. Begitu sampai di halte bus dekat stasiun, saya pun bergegas karena tinggal 20 menit lagi sebelum kereta berangkat, tetapi begitu saya menginjakkan kaki di depan pintu stasiun, terpampang pengumuman di layar monitor bahwa kereta malam yang akan saya tumpangi dibatalkan. What?? Maksudnya apa dibatalkan? Saya pun setengah mati kebingungan. Segera saya menuju ke kantor penjualan tiket dan salah satu petugas Renfe (perusahaan penyedia jasa kereta api di Spanyol) menyuruh saya untuk pergi ke ruangan di belakang ticket counter dan bertemu dengan petugas lain yang akan menjelaskan kepada saya apa yang terjadi. Di sana saya bertemu dengan sepasang suami-istri dari Korea yang sedang berbulan madu. Dan sepasang muda-mudi yang juga asal Korea dan sedang bertengkar karena mereka kebingungan harus berangkat malam ini karena besok siang mereka harus kembali ke negaranya. Saya sempat-sempatnya mikir , kok berantemnya kayak di film-film korea dengan sebutan Oppa..oppa..

Salah seorang penumpang Korea itu menanyakan kenapa  kereta kami dibatalkan. Petugasnya dengan cuek menjawab kalau kereta kami dibatalkan karena mereka melakukan la huelga (pemogokan) dengan bahasa Inggris campur Spanyol (yang kebanyakan Spanyolnya). Kami disarankan untuk menunggu sampai besok pagi dan naik kereta yang akan mereka sediakan tapi dengan rute yang berbeda atau mengambil refund dan naik bus malam yang akan menempuh 12 jam perjalanan dengan biaya dua kali lebih mahal dari tiket kereta kami. Yah setelah hitung-hitung, sepertinya lebih murah kalau menginap semalam dan naik kereta besok paginya, toh dengan naik bus malam pun saya akan sampai di Barcelona pukul 12 siang, sementara dengan kereta pukul 2 siang. Dan lagi, saya bisa tidur nyenyak di kamar hostel daripada di dalam bus malam. Untunglah Mercedes masih mempunyai kamar kosong yang bisa saya gunakan. Kalau tidak saya bingung juga harus mencari-cari penginapan mendadak karena hari sudah cukup malam. Dalam hati saya berkata rupanya memang belum waktunya saya berpisah dengan Granada.

Pertunjukan Flamenco di tengah sebuah plaza

Jadi, memang dalam travelling bisa saja terjadi hal-hal di luar dugaan yang memerlukan dana ekstra. Oleh karena itu memang harus selalu disiapkan budget khusus untuk KLB (kejadian luar biasa *halah*) kalau-kalau sesuatu menimpa di tengah jalan. Oh, not to mention saya juga ketinggalan bus di Roma, jadi saya harus naik taksi yang argonya wow. Seumur-umur di Jakarta , saya cuma pernah mengeluarkan seperempat biaya taksi saya di Roma dan itupun perjalanannya cukup jauh. Hehehe..tapi ga bikin kapok lah. Justru dapat pengalaman lucu dan menarik kan J

Adios Granada! See you again someday!




Sunday, June 16, 2013

Sumimasen, Kachi-kachi Rope way doko desu ka?

View of Lake Kawaguchi from Kachi-kachi Mountain 

Ada pepatah yang mengatakan: Malu bertanya sesat di jalan. Well, kalo tidak ada yang bisa ditanya gimana nemu jalannya? Itulah yang terjadi pada saya di suatu pagi ketika saya tiba di Stasiun Kawaguchiko dari Tokyo. Saya hendak melihat Danau Kawaguchi yang terletak di kaki Gunung Fuji dengan harapan bisa melihat sekilas pemandangan Gunung Fuji. 

Berbekal peta dari informasi turis di stasiun, saya pun melangkah menuju Kachi-kachi mountain di mana saya berencana untuk menaiki kereta gantung dan melihat pemandangan Danau Kawaguchi dan Gunung Fuji. Permasalahannya saya adalah orang yang sangat payah dalam hal membaca peta, maka tersesatlah saya. Dan biasanya saya mencari jalan dengan bertanya pada orang yang saya temui di jalan walaupun saya tidak bisa berbahasa Jepang. Itu yang saya lakukan selama saya berada di Tokyo. Akan tetapi Danau Kawaguchiko terletak di sebuah kota kecil, dan entah mengapa saya tidak menemukan orang yang bisa saya ajak bicara. Sungguh, saya benar-benar tersesat dan hilang arah (uda kayak lagu aja). Terus terang saya panik dan hampir menitikkan air mata (iya, saya memang suka lebay) karena saya  dikejar waktu karena saya hanya memiliki beberapa jam saja di sini berhubung saya harus mengejar bus menuju Kyoto di malam harinya. 

Akhirnya saya menemukan sebuah toko kecil di mana ada dua orang nenek sedang duduk mengobrol. Dengan pedenya saya mengetok pintu toko itu dan mengucapkan: "Sumimasen, Kachi-kachi Rope way doko desu ka?" Eits, jangan disangka saya bisa berbahasa Jepang yah, saya cuma bisa ngomong kalimat itu untuk bertanya jalan, selanjutnya saya pasti bicara dalam bahasa Inggris. Kedua nenek baik hati itu berusaha menjelaskan kepada saya arah petunjuk jalan dalam bahasa jepang diawali dengan: "Go straight" yang kedengarannya seperti go straite. Btw, semua orang di Jepang kayaknya kalo ditanya soal jalan, menjawabnya dengan penuh ketulusan dan saya beberapa kali hingga diantar sampai ke tujuan. 

Rupa-rupanya saya salah mengambil jalan, dan untunglah dari toko kedua nenek itu sudah tidak terlalu jauh lagi. Saya sampai sempat merindukan tukang ojek yang gampang ditemukan kalo di Indonesia Sama halnya ketika saya kecapean jalan di Osaka yang akan saya ceritakan lain waktu. 

Menuju ke stasiun kereta gantung Kachi-kachi Rope way, saya melewati toko-toko kecil yang lucu dan menjual souvenir-souvenir khas Jepang. Tapi saya tidak sempat memasukinya karena diuber waktu. Udara yang dingin ditambah tersesat membuat saya lapar. Untunglah saya melewati Lawson, di situ saya membeli roti sandwich dan susu coklat Van Houten yang enaaakk sekaliii. Rencananya akan saya makan di dalam kereta gantung sambil menatap Danau Kawaguchi. Sesampainya di atas, saya rasanya hepiii sekali walaupun sebelumnya jujur saya sempat stress karena tersesat. Sayangnya saya tidak dapat melihat Gunung Fuji karena tertutup kabut tebal. Tetapi pemandangan dari atas sudah cukup menyenangkan saya. Pengen rasanya saya kembali lagi ketika musim semi. Semoga... :)


Monday, April 1, 2013

Wisata Kuliner Saigon Part II

Halo..lanjut lagi yah sama acara jalan-jalan ke Saigonnya. Kali ini saya akan cerita makan malam saya di hari kedua di Saigon. Setelah tur keliling kota Saigon dan makan siang super enak di kedai yang jualan berbagai macam kerang, malam pun tiba. Loan mengajak kami untuk minum-minum kopi di sebuah cafe yang lumayan terkenal di kalangan anak muda Vietnam. Saya lupa nama tempatnya karena Loan mengusulkan beberapa macam tempat.



Menu di sini seperti cafe di Jakarta pada umumnya. Kami hanya memesan kopi susu dan menikmati suasana cafe yang dibuat dengan tema natural. Lumayan sih buat ngopi-ngopi sore bareng teman. Kemudian kami pun beranjak menuju tepi sungai Saigon untuk melihat-lihat river cruise di malam hari. Sungguh menyenangkan berjalan-jalan di tepi sungai seperti itu. Beberapa orang banyak yang sedang memancing, bahkan ada yang berhasil menangkap semacam ikan lele yang sangat besar.

Setelah kami berkeliling-keliling cukup jauh, saya melihat sebuah tempat makan pinggir jalan unik yang menjual sosis sapi dibungkus daun lalot dan kemudian dipanggang. Dimakan dengan rice paper dan dipping sauce beserta lalap khas Vietnam. Rasanya ruaarrr biasaaa..saya suka sekali..sosisnya smoky dan dipadu dengan dipping sauce yang asam manis pedas. Hmmmm...enakkkk




Saya sempat berusaha memotret ibu-ibu yang sedang memanggang sosis ini, hanya saja ia tidak mengizinkannya karena takut fotonya dipakai untuk hal lain, saya bingung juga ya, buat apa juga saya melakukan itu. Loan kemudian memberi tahu saya bahwa sebenarnya berjualan di pinggir jalan seperti itu melanggar aturan, sehingga ibu itu sepertinya takut apabila fotonya dipakai untuk melaporkan dia. Akhirnya saya mengalah dan melanjutkan untuk menghabiskan makan malam saya :)

Friday, February 22, 2013

Wisata Kuliner Saigon Part I

Memang hidup saya itu ga bisa jauh-jauh dari seputar makanan. Makanya ga heran saya chubby kek gini. Buat saya ga afdol banget kalo jalan-jalan ke suatu tempat dan ga mencoba makanan khas tempat tersebut.

Tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Saigon di Vietnam. Kota ini dulunya merupakan ibukota lama dari Vietnam. Kalo melihat Saigon serasa melihat Jakarta beberapa waktu yang lalu di mana belum terlalu banyak mal dan gedung tinggi seperti sekarang. Lalu lintas kota Saigon jangan ditanya, kayaknya banyakan jumlah motornya daripada manusianya. Menyebrang jalan di Saigon membutuhkan perjuangan karena harus menembus belantara motor yang gak berhenti-henti datang.

Sayangnya saya ga punya gambar lalu lintas di Saigon yang dipadati sama motor-motor itu. Jadi saya ngambil dari google aja yah..


http://i381.photobucket.com/albums/oo259/Sebastionbear/motorcyclemayhemvietnam.jpg
I know sekilas kayak Jakarta yah tapi menurut saya , jalanan Jakarta tuh lebih gede, dan motor-motornya lebih dikit  (tapi sedikitt). Hehehe...

Okeh, saya di sini kan sbnrnya mau ngomongin kuliner khas Saigon yah..Jadi let's go back to the topic.
Saya nyampe di Saigon itu kalo ga salah sekitar jam 8 berdua dengan teman saya. Jam segitu di Saigon masi rame bukan main. Berhubung nginep di daerah turis (seperti Jalan Jaksanya Saigon) Pham Ngu Lao, maka mencari makanan mustinya bukan masalah kan. Cuma karena saking banyaknya pilihan, malah jadi bingung mau mencoba yang mana dulu. Akhirnya setelah berkeliling-keliling selama setengah jam lebih, kami memutuskan untuk makan di suatu tempat yang menjual semacam soto khas Vietnam, Bo Bun Hue (kalo saya salah sebut mohon dimaafkeun yah karena saya lupa nyatet dan nama makanan Vietnam agak ajaib buat orang yang baru pertama kali denger)



Kuah soto Vietnam ini mirip bakso dan soto. Sepertinya sih kaldunya terbuat dari pork (oh iya sebagai catatan memang kebanyakan makanan yang saya temui di sini non halal). Soto ini terdiri dari bihun dan daging ayam, udang, babi. Rasanya sangat enak, kalo mau pedas tinggal ditambahkan irisan cabe rawit yang lumayan judes rasanya buat saya dan perasan jeruk nipis, slurrpp..seger deh. Seporsi soto Vietnam ini 30000 VND alias IDR 15000 saja. Murah kan?

Keesokkan harinya saya jalan-jalan keliling Saigon ditemani local guide dari Saigon Hotpot. Saya mengunjungi Gereja Katedral Notre Dame, Saigon Central Post Office, dan War Remnants Museum.

inside Central Post Offfice Saigon
Notre Dame Cathedral Saigon

Pulang berkeliling tentu membuat kami lapar, saya kemudian meminta kepada local guide saya, Loan, untuk menunjukkan tempat makan untuk yang biasa dikunjungi orang lokal tapi bukan tempat untuk turis. Biar khas gitu, maksudnya. Loan pun mengajak kami makan siang di sebuah restoran yang menjual berbagai macam kerang dan siput. Sekali lagi saya tidak tahu nama-nama makanan tersebut karena menunya dalam bahasa Vietnam dan orang-orang di sana tidak berbahasa Inggris. Saya memang ingin sekali merasakan pengalaman kuliner lokal yang seru seperti ini.

Makanannya enakkkk sekali. Kerang,siput, dan keong diolah dengan berbagai macam bumbu dan dimakan dengan lalapan ala Vietnam yang terdiri dari sayuran dan dedaunan yang rasanya eksotis banget beserta sambal khas Vietnam Nuoc Cham. Saya saking sukanya ingin membawa pulang karena di Jakarta saya ga pernah nemu daun seperti itu.  Pengganti nasi adalah roti baguette yang cukup mengenyangkan.

Pesta kerang dan keong

kesukaan saya..kerang ditumis pake samchan alias pork lard

semacam keong yang dimasak pake santan dan cabe

tiram super gede

Ini loh dedaunan yang saya maksud dan nuoc cham
keong ini dimasak pake saus tamarind alias asam jawa
Buku menu. Oc itu kerang kalo ga salah

Writing this post makes me hungry. LOL.. So I'm going to have lunch now.  Saya akan lanjutkan cerita kuliner saya seputar Saigon pada postingan berikutnya yah.. Oh iya sekali lagi, makanan di Saigon ini murah-murah. Kayaknya saya makan bertiga ga nyampe 200.000 VND deh. Cheers!